Kamis, 29 Agustus 2019

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRN (EKOSISTEM MANGROVE)


PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRN (EKOSISTEM MANGROVE)
            Potensin sumberdaya alam diwilaya pesisir Indonesia sangat besar, baik sumberdaya hayati maupun nonhayati dengan keanekaragaman yang tinggi seperti terumbukarang, padang lamun, ekosistem mangrove, estuaria, mineral, minyak bumi, harta karun, dan lain sebagainya. Potensi sumberdaya alam yang besar tersebut sayangnya belum dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, justru yang terjadi adalah pemanfaatannya sumberdaya pesisir dan laut yang serba dilematis, disatu sisi pemanfaatannya belum optimal, namun disisi lain telah terjadi kerusakan di wilayah pesisir dan di perairan laut akibat pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan kaidah daya dukung lingkungan.
            Perubahan yang terjdi pada wilayah pesisir dan laut tidak hanya sekedar gejala alam semata, tetapi kindisi ini sangat besar dipengaruhi oleh aktifitas mansia yang ada di sekitar. Wilayah pesisir merupan pintu gerbang dari berbagai dampak aktipitas tersebut. Wilayah pesisir merupakan wilayah  yang pertama kali dan paling banyak menerima tekanan dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tekanan tersebut muncul dari aktivitas pembangunan seperti pembangunan permukiman dan aktivitas perdagangan karena wilayah pesisir paling rentan terhadap perubahan baik secara alami ataupun fisik sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan, salah satunya adalah ekosistem mangrove.
Ekosistem mangrove sering disebutkan sebagai hutan payau atau hutan bakau. Ekosistem mangrove merupakan tipe hutan daerah tropis yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove banyak dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Pengertian ekosistem mangrove secara umum adalah merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Bila dibandingkan dengan ekosistem hutan yang lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan fauna yang spesifik dan memiliki keanekaragaman yang tinggi. Luas ekosistem mangrove di Indonesia pada tahun 1982 tercatat seluas 5.209.543 ha. Luasan tersebut menyusut sampai 46,96 % atau tersisa 2.496.158 ha pada tahun 1993.
ekosistem mangrove memiliki fungsi antara lain :
(1)   sebagai pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angina
(2)   sebagai tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai jenis biota
(3)   sebagai penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus)
(4)   sebagai sumber bahan baku industri bahan bakar
(5)   pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya
(6)   tempat pariwisata.
Secara fisik ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung yang mempengaruhi pengaliran massa air di dalam tanah. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Keadaan ekosistem rnangrove yang relatif lebih tenang dan terlindung dan sangat subur juga aman bagi biota laut pada umumnya.
Fungsi lain yang penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama dalam jaringan makanan ekosistem mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui proses penguraian oleh mikro organisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus. Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing, mysidaceae (udang-udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan- hewan tersebut menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu
Seterusnya untuk menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna bagi kepentingan manusia. Salah satu kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh pertumbuhan penduduk dan urbanisasi karena mereka membuang limbah di sekitar perairan ekosistem hutan mangrove yang tidak jauh dari kota, oleh karena itu diperlukan suatu pengelolaan dalam membuang limbah yang tidak merusak ekosistem mangrove.
Kondisi diatas semakin krusial dengan lemahnya dukungan peraturan perundang-undangan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang selama aspirasi dan kebanyakan masih bersifat sektoral dan tidak memihak kepentingan masyarakat pesisir dan kelestarian sumberdaya.
Ada banyak peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan pantai, diantaranya adalah :
a. UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
b. UU No.5 Tahun 1960 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria.
c. UU No.5 Tahun 1967 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
d. UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan.
e. UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan.
f. UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
g. UU No.9 Tahun 1990 Tentang Kepariwisataan.
h. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
i. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.
j. UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.
k. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah.
l. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
m. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.
n. UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir dan kelautan.
Penegakan hukum perlu terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Cara–cara dan upaya antara lain dapat berupa:
a. Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan dengan pengelolaan pantai kepada semua stakeholders.
b. Substansi tentang aturan dan sanksinya perlu disosialisasikan lebih detail. Misalnya dengan cara pemasangan papan aturan dan sanksi di tempat-tempat strategis.
c. Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan agar stakeholders menjadi jera dan mau mentaati aturan yang berlaku.
d. Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi. Lembaga ini berfungsi mengawasi pengelolaan pantai baik internal maupun eksternal.
e. Karena isu-isu yang kompleks tersebut maka diperlukan kolaborasi yang baik antara institusi penentu kuantitas dan kualitas air dengan institusi penegakan hukum.
f. Implementasi penegakan hukum dilakukan dengan cara bertahap.
Penentuan penetapan kawasan pesisir dalam upaya pengembangan kawasan dapat dibagi menjadi beberapa kriteria kawasan, yaitu menetapkan kawasan pantai menjadi kawasan kritis, kawasan perlindungan atau konservasi, kawasan budidaya dan produksi, serta kawasan khusus.
·         Kawasan kritis merupakan kawasan yang kegiatannya di kawasan tersebut harus dibatasi atau dihentikan sama sekali. Kawasan lindung merupakan kawasan yang kelestariannya harus dilindungi sehingga kegiatan eksploitasi harus dihentikan. Kawasan lindung disini akan berfungsi lindung terhadap kawasan lainnya, misalnya untuk kawasan budidaya.
·         Sedangkan kawasan budidaya dapat berupa pariwisata bahari dan pertumbuhan udang yang memerlukan kualitas perairan pantai yang baik.
·         Kriteria kawasan lindung untuk kawasan pantai berhutan bakau yaitu kawasan minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat yang merupakan habitat hutan bakau.
Pendayagunaan kawasan pantai yang tidak terkontrol akan menimbulkan perubahan- perubahan dalam ekosistem yang selanjutnya dapat merusak sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Dalam upaya pengelolaan maupun pemanfaatan potensi dan peluang-peluang dalam pendayagunaan sumberdaya dan pengendalian pelestarian lingkungan yang meliputi konservasi, rehabilitasi, pengamanan, keselamatan, pencemaran, dan lain sebagainya pada kawasan pesisir dan laut, perlu diupayakan penyempurnaan peraturan tentang :
1. Pemanfaatan ruang wilayah secara operasional, sehingga dapat memberikan kemudahan/pedoman dalam pengembangan wilayah secara lebih efisien dan efektif bagi semua sektor pembangunan.
2. Upaya pengendalian pemanfaatan sumberdaya yang ada dengan perencanaan yang tepat dalam menangani konservasi kawasan pantai, pesisir dan laut guna menjamin keberlanjutan fungsi kawasan melalui rehabilitasi dan pelestarian SDA dan lingkungan hidup (taman laut, terumbu karang, bakau/mangrove, dan sebagainya).
3. Upaya pengelolaan pemanfaatan sumberdaya secara terpadu dan sinergis antara pantai, pesisir dan laut terhadap pengembangan kawasan strategis regional (lintas wilayah dan sektor).
Strategi yang perlu diterapkan untuk menciptakan kelestarian mangrove antara lain. Pembatasan budidaya terutama untuk daerah terbangun di wilayah pesisir yang didukung secara instuisional dan pemberdayaan masyarakat, jadi konversi lahan mangrove dapat dibatasi.
1.) Pemberlakuan kebijakan dari pemerintah setempat atau yang berwewenang untuk mengendalikan konversi secara top down (kebijakan tegas) dengan melalui sosialisasi dan pemberian insentif dan disinsentif bagi para pelanggarnya.
2.) Memberikan alokasi ruang khusus untuk budidaya mangrove sehingga dapat dijadikan tempat kunjungan wisata agro dan pengembang biakan udang, ikan dan kepiting.
3.) Memberikan kebijakan pengelolaan mangrove sebagai pelindung pantai sehingga jumlah mangrove tetap dipertahankan bahkan ditambah.
Sosialisasi dilakukan di desa lokasi kegiatan untuk menyampaikan dan menginformasikan maksud dan tujuan dari kegiatan. Dalam kegiatan ini, masyarakat bersama-sama akan menetapkan lokasi penanaman, kegiatan dan biaya  pemeliharaan pasca penanaman yang diserahkan kepada masing-masing kelompok, masyarakat yang akan terlibat yang berasal dari masyarakat yang bertempat, dan bekerja sebagai nelayan, penggarap/pemilik tambak dan yang aktivitasnya berdekatan dengan lokasi mangrove, pengumpulan dan pengangkutan benih;
Penyuluhan dalam kegiatan penyuluhan yang disampaikan adalah fungsi dan manfaat mangrove baik secara ekologi maupun fungsi jasa sosial hutan mangrove. Kegiatan ini dilakukan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fungsi dan pemanfaatan mangrove.
Pembentukan kelompok binaan pembentukan kelompok bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi dan pelatihan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mereka akan pentingnya fungsi ekosistem hutan mangrove.
Pemantauan dan evaluasi dilakukan dengan maksud untuk mengetahui perubahan variabel administratif, sosial budaya, perilaku masyarakat dan lingkungan.
x
x

Tidak ada komentar:

Posting Komentar