PENGELOLAAN
KAWASAN KONSERVASI PERAIRN (EKOSISTEM MANGROVE)
Potensin sumberdaya
alam diwilaya pesisir Indonesia sangat besar, baik sumberdaya hayati maupun
nonhayati dengan keanekaragaman yang tinggi seperti terumbukarang, padang
lamun, ekosistem mangrove, estuaria, mineral, minyak bumi, harta karun, dan
lain sebagainya. Potensi sumberdaya alam yang besar tersebut sayangnya belum
dimanfaatkan dengan sebaik mungkin, justru yang terjadi adalah pemanfaatannya
sumberdaya pesisir dan laut yang serba dilematis, disatu sisi pemanfaatannya
belum optimal, namun disisi lain telah terjadi kerusakan di wilayah pesisir dan
di perairan laut akibat pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam tanpa
mempertimbangkan kaidah daya dukung lingkungan.
Perubahan
yang terjdi pada wilayah pesisir dan laut tidak hanya sekedar gejala alam
semata, tetapi kindisi ini sangat besar dipengaruhi oleh aktifitas mansia yang
ada di sekitar. Wilayah pesisir merupan pintu gerbang dari berbagai dampak
aktipitas tersebut. Wilayah pesisir merupakan wilayah yang pertama kali dan paling banyak menerima
tekanan dibandingkan dengan wilayah lainnya. Tekanan tersebut muncul dari
aktivitas pembangunan seperti pembangunan permukiman dan aktivitas perdagangan
karena wilayah pesisir paling rentan terhadap perubahan baik secara alami ataupun
fisik sehingga terjadi penurunan kualitas lingkungan, salah satunya adalah ekosistem
mangrove.
Ekosistem mangrove
sering disebutkan sebagai hutan payau atau hutan bakau. Ekosistem mangrove
merupakan tipe hutan daerah tropis yang khas tumbuh disepanjang pantai atau muara
sungai yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Ekosistem mangrove banyak
dijumpai di wilayah pesisir yang terlindung dari gempuran ombak. Pengertian ekosistem
mangrove secara umum adalah merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang
didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang tumbuh dan berkembang pada daerah
pasang surut pantai berlumpur. Bila dibandingkan dengan ekosistem hutan yang
lain, maka ekosistem mangrove memiliki flora dan fauna yang spesifik dan
memiliki keanekaragaman yang tinggi. Luas ekosistem mangrove di Indonesia pada
tahun 1982 tercatat seluas 5.209.543 ha. Luasan tersebut menyusut sampai 46,96
% atau tersisa 2.496.158 ha pada tahun 1993.
ekosistem mangrove
memiliki fungsi antara lain :
(1) sebagai
pelindung pantai dari gempuran ombak, arus dan angina
(2) sebagai
tempat berlindung, berpijah atau berkembang biak dan daerah asuhan berbagai
jenis biota
(3) sebagai
penghasil bahan organik yang sangat produktif (detritus)
(4) sebagai
sumber bahan baku industri bahan bakar
(5) pemasok
larva ikan, udang dan biota laut lainnya
(6) tempat
pariwisata.
Secara fisik ekosistem
mangrove dapat berfungsi sebagai hutan lindung yang mempengaruhi pengaliran
massa air di dalam tanah. Sistem perakaran yang khas pada tumbuhan mangrove
dapat menghambat arus air dan ombak, sehingga menjaga garis pantai tetap stabil
dan terhindar dari pengikisan (abrasi). Keadaan ekosistem rnangrove yang relatif
lebih tenang dan terlindung dan sangat subur juga aman bagi biota laut pada umumnya.
Fungsi lain yang
penting adalah sebagai penghasil bahan organik yang merupakan mata rantai utama
dalam jaringan makanan ekosistem mangrove. Daun mangrove yang gugur melalui
proses penguraian oleh mikro organisme diuraikan menjadi partikel-partikel detritus.
Detritus kemudian menjadi bahan makanan bagi hewan pemakan detritus seperti: cacing,
mysidaceae (udang-udang kecil/ rebon). Selanjutnya hewan pemakan detritus menjadi
makanan larva ikan, udang dan hewan lainnya. Pada tingkat berikutnya hewan- hewan
tersebut menjadi makanan bagi hewan-hewan lainnya yang lebih besar dan begitu
Seterusnya untuk
menghasilkan ikan, udang dan berbagai jenis bahan makanan lainnya yang berguna
bagi kepentingan manusia. Salah satu kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh
pertumbuhan penduduk dan urbanisasi karena mereka membuang limbah di sekitar perairan
ekosistem hutan mangrove yang tidak jauh dari kota, oleh karena itu diperlukan
suatu pengelolaan dalam membuang limbah yang tidak merusak ekosistem mangrove.
Kondisi diatas semakin
krusial dengan lemahnya dukungan peraturan perundang-undangan pengelolaan
sumberdaya pesisir dan laut yang selama aspirasi dan kebanyakan masih bersifat
sektoral dan tidak memihak kepentingan masyarakat pesisir dan kelestarian
sumberdaya.
Ada banyak peraturan
perundangan yang terkait dengan pengelolaan pantai, diantaranya adalah :
a. UUD 1945 Pasal 33 ayat 3
b. UU No.5 Tahun 1960 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Agraria.
c. UU No.5 Tahun 1967 Tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan.
d. UU No.11 Tahun 1974 Tentang Perairan.
e. UU No.9 Tahun 1985 Tentang Perikanan.
f. UU No.5 Tahun 1990 Tentang Konservasi
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
g. UU No.9 Tahun 1990 Tentang
Kepariwisataan.
h. UU No. 23 Tahun 1997 Tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
i. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang
Kehutanan.
j. UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber
Daya Air.
k. UU No. 32 Tahun 2004 Tentang
Pemerintah Daerah.
l. UU No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan
antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
m. UU No.26 Tahun 2007 Tentang Penataan
Ruang.
n. UU No 27 Tahun 2007 Tentang Pesisir
dan kelautan.
Penegakan hukum perlu
terus dilakukan dengan berbagai cara dan upaya. Cara–cara dan upaya antara lain
dapat berupa:
a. Sosialisasi peraturan perundangan yang berkaitan
dengan pengelolaan pantai kepada semua stakeholders.
b. Substansi tentang aturan dan sanksinya perlu
disosialisasikan lebih detail. Misalnya dengan cara pemasangan papan aturan dan
sanksi di tempat-tempat strategis.
c. Perlu shock therapy yaitu dengan misalnya menerapkan
sanksi, denda, atau hukuman maksimal dari aturan yang ada. Hal ini dimaksudkan
agar stakeholders menjadi jera dan mau mentaati aturan yang berlaku.
d. Perlu lembaga pengawasan yang melekat pada instansi.
Lembaga ini berfungsi mengawasi pengelolaan pantai baik internal maupun
eksternal.
e. Karena isu-isu yang kompleks tersebut maka
diperlukan kolaborasi yang baik antara institusi penentu kuantitas dan kualitas
air dengan institusi penegakan hukum.
f. Implementasi penegakan hukum
dilakukan dengan cara bertahap.
Penentuan penetapan
kawasan pesisir dalam upaya pengembangan kawasan dapat dibagi menjadi beberapa
kriteria kawasan, yaitu menetapkan kawasan pantai menjadi kawasan kritis,
kawasan perlindungan atau konservasi, kawasan budidaya dan produksi, serta kawasan
khusus.
·
Kawasan kritis merupakan kawasan yang
kegiatannya di kawasan tersebut harus dibatasi atau dihentikan sama sekali. Kawasan
lindung merupakan kawasan yang kelestariannya harus dilindungi sehingga kegiatan
eksploitasi harus dihentikan. Kawasan lindung disini akan berfungsi lindung terhadap
kawasan lainnya, misalnya untuk kawasan budidaya.
·
Sedangkan kawasan budidaya dapat berupa
pariwisata bahari dan pertumbuhan udang yang memerlukan kualitas perairan
pantai yang baik.
·
Kriteria kawasan lindung untuk kawasan
pantai berhutan bakau yaitu kawasan minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan
air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah
ke arah darat yang merupakan habitat hutan bakau.
Pendayagunaan kawasan pantai yang tidak terkontrol
akan menimbulkan perubahan- perubahan dalam ekosistem yang selanjutnya dapat
merusak sumber daya alam yang terkandung didalamnya.
Dalam upaya pengelolaan maupun pemanfaatan potensi
dan peluang-peluang dalam pendayagunaan sumberdaya dan pengendalian pelestarian
lingkungan yang meliputi konservasi, rehabilitasi, pengamanan, keselamatan, pencemaran,
dan lain sebagainya pada kawasan pesisir dan laut, perlu diupayakan
penyempurnaan peraturan tentang :
1. Pemanfaatan ruang wilayah secara operasional,
sehingga dapat memberikan kemudahan/pedoman dalam pengembangan wilayah secara
lebih efisien dan efektif bagi semua sektor pembangunan.
2. Upaya pengendalian pemanfaatan sumberdaya yang
ada dengan perencanaan yang tepat dalam menangani konservasi kawasan pantai,
pesisir dan laut guna menjamin keberlanjutan fungsi kawasan melalui rehabilitasi
dan pelestarian SDA dan lingkungan hidup (taman laut, terumbu karang,
bakau/mangrove, dan sebagainya).
3. Upaya pengelolaan pemanfaatan sumberdaya secara
terpadu dan sinergis antara pantai, pesisir dan laut terhadap pengembangan kawasan
strategis regional (lintas wilayah dan sektor).
Strategi yang perlu
diterapkan untuk menciptakan kelestarian mangrove antara lain. Pembatasan
budidaya terutama untuk daerah terbangun di wilayah pesisir yang didukung
secara instuisional dan pemberdayaan masyarakat, jadi konversi lahan mangrove
dapat dibatasi.
1.) Pemberlakuan kebijakan dari pemerintah setempat
atau yang berwewenang untuk mengendalikan konversi secara top down (kebijakan
tegas) dengan melalui sosialisasi dan pemberian insentif dan disinsentif bagi
para pelanggarnya.
2.) Memberikan alokasi ruang khusus untuk budidaya
mangrove sehingga dapat dijadikan tempat kunjungan wisata agro dan pengembang
biakan udang, ikan dan kepiting.
3.) Memberikan kebijakan pengelolaan mangrove
sebagai pelindung pantai sehingga jumlah mangrove tetap dipertahankan bahkan
ditambah.
Sosialisasi dilakukan
di desa lokasi kegiatan untuk menyampaikan dan menginformasikan maksud dan
tujuan dari kegiatan. Dalam kegiatan ini, masyarakat bersama-sama akan
menetapkan lokasi penanaman, kegiatan dan biaya
pemeliharaan pasca penanaman yang diserahkan kepada masing-masing
kelompok, masyarakat yang akan terlibat yang berasal dari masyarakat yang
bertempat, dan bekerja sebagai nelayan, penggarap/pemilik tambak dan yang
aktivitasnya berdekatan dengan lokasi mangrove, pengumpulan dan pengangkutan
benih;
Penyuluhan dalam
kegiatan penyuluhan yang disampaikan adalah fungsi dan manfaat mangrove baik
secara ekologi maupun fungsi jasa sosial hutan mangrove. Kegiatan ini dilakukan
bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai fungsi dan pemanfaatan
mangrove.
Pembentukan kelompok
binaan pembentukan kelompok bertujuan untuk melibatkan masyarakat dalam
kegiatan rehabilitasi dan pelatihan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran mereka akan pentingnya fungsi ekosistem hutan
mangrove.
Pemantauan dan evaluasi
dilakukan dengan maksud untuk mengetahui perubahan variabel administratif,
sosial budaya, perilaku masyarakat dan lingkungan.
x
x